Senin, 27 Juni 2011

PERPANJANGAN MASA JABATAN PRESIDEN : PENGKHIANATAN TERHADAP REFORMASI
Oleh : Endarto, S.Pd (Widyaiswara Badan Diklat Provinsi Banten)


Mengikuti perkembangan situasi politik terakhir yaitu polemik tentang perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi 3 periode yang dilontarkan politisi sekaligus juru bicara partai demokrat Ruhut Sitompul kita teringatkan kembali tentang salah satu tuntutan reformasi yaitu pembatasan masa jabatan presiden agar lembaga ini tidak menjadi super power dan otoriter. Ucapannya tersebut langsung memicu pro dan kontra dalam masyarakat, baik itu yang dilontarkan oleh para politikus, tokoh nasional maupun masyarakat umum.

Kita terhenyak dengan pernyataan tersebut, hari gini masih ada yang mimpi disiang bolong. Padahal hal pertama yang diamandemen dalam UUD 1945 adalah pembatasan masa jabatan presiden pada pasal 7 yang semula berbunyi “ Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.” diubah menjadi “ Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”

Pembatasan ini perlu ditegaskan karena berdasarkan pengalaman sejarah, kelemahan kita terutama orang Jawa selalu “pekewuh” untuk mengatakan “tidak” pada pemimpin kita apalagi yang sudah kita anggap setengah dewa atau ratu adil, padahal kepemimpinannya sudah tidak efektif lagi dan mulai terlihat kebobrokan disana-sini, akibatnya dua presiden pertama kita memiliki kekuasaan yang tak terbatas. Bahkan Bung Karno telah diangkat menjadi presiden seumur hidup dan Pak Harto walaupun tidak secara resmi diangkat menjadi presiden seumur hidup pada kenyataannya bahkan berkuasa lebih lama dari Bung Karno yaitu 32 tahun karena selalu terpilih kembali. Hal ini telah menyebabkan otoriterisme kekuasaan yang pada gilirannya membawa bangsa ini ke krisis multidimensi karena banyak terjadi pelanggaran HAM yang massif serta Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Pernyataan ini seolah menggali kembali bangkai yang telah kita kubur dalam-dalam lebih dari satu dasa warsa yang lalu. Kita juga merasa seolah-olah ia telah muncul menjadi Gus Dur baru yang setiap perkataannya sering menimbulkan kontroversi, dan masing-masing kita sibuk mencoba menterjemahkan apa maksud dari perkataanya tersebut. “Apakah Si Poltak ini serius atau sedang bercanda?”, “Apakah ini muncul dari dirinya sendiri atau ada pembisiknya?”,” Apakah ini murni ‘keluguannya’ atau sedang disuruh ‘testing the water?” dan seterusnya. Ada beberapa analisis yang bisa kita kemukakan disini ;

Pertama, Bisa saja ini hanya keisengan Ruhut semata. Kita tahu siapa “ Si Raja Minyak dari Medan” ini. Dia adalah seorang pengacara, artis sinetron dan belakangan jadi politikus. Semula ia politikus partai Golkar yang “kurang mendapatkan peran” kemudian pindah ke Demokrat ‘si bayi ajaib’ yang mendadak besar, mungkin karena kekurangan tokoh ia menjelma jadi tokoh penting didalamnya. Dalam berbagai kesempatan ia selalu tampil lucu, ceplas-ceplos bahkan terkesan urakan dan kadang kurang etis. Lihat saja bagaimana polah tingkahnya dalam setiap rapat Pansus Century termasuk debat kusirnya yang “overdosis” dengan Gayus Lumbuun dari PDIP. Dari sini kita bisa menduga bahwa dia asal ngomong saja. Bisa juga dia sedang emosional terkait pembelaannya atas pidato SBY di depan DPR yang menurutnya sangat bagus tetapi seolah semua orang menilai jelek, sampai ia ingin menegaskan bahwa hanyalah SBY yang paling pantas jadi presiden paska Pak Harto, buktinya Habibie hanya 1 tahun, Gus Dur 2 tahun dan Megawati 3 tahun. Bahkan kini SBY terpilih kembali untuk kedua kalinya dengan kemenangan 1 putaran dengan suara lebih dari 60 %. Jadi menurutnya SBY pantas diberi kesempatan lagi apalagi masih terlihat muda dan enerjik.

Kedua, Bisa juga ia menyuarakan isi hati segelintir orang disekitar SBY yang merasa diuntungkan dan mendapat posisi penting pada masa kepemimpinan SBY ini sehingga kalau SBY turun ‘periuknya”pun terancam. Mereka khawatir tokoh Demokrat paska SBY tidak bisa sekuat SBY akibatnya nasib mereka menjadi tidak jelas. Kita jadi teringat jaman Pak Harto menjelang SU MPR tahun 1998 dimana Pak Harto minta Golkar menanyakan kepada rakyat Indonesia apakah masih menghendaki dirinya dan dijawab tegas dan mantap oleh Harmoko bahwa seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke masih menghendaki beliau, padahal kita tahu saat itu Pak Harto sudah sepuh dan suara-suara yang menghendaki beliau lengser semakin nyaring terdengar. Dalam hal ini orang-orang tersebut ‘meng-Harmokokan’ Ruhut yang selama ini ‘nggak pernah takut bicara’ untuk melempar isu tersebut siapa tahu banyak yang mendukung.

Ketiga, Ada juga yang menduga ini tugas khusus dari SBY  untuk ‘Testing the Water’ untuk meraba-raba atau mengetahui reaksi masyarakat, siapa tahu reaksinya positif. Tetapi masak iya sih SBY yang pada reformasi 2008 yang masuk Fraksi ABRI dan dikenal tokoh reformis dari ABRI ingin melabrak sendiri apa yang ikut ia suarakan belasan tahun yang lalu? Apalagi ia telah membuktikan komitmennya dengan rela menjadi korban reformasi ABRI yang ia gawangi sendiri dimana salah satunya tentara tidak boleh merangkap jabatan di pemerintahan. Saat itu ia yang berpangkat Letnan Jenderal dan nyaris menjadi KSAD tiba-tiba ditunjuk sebagai Menteri Pertambangan dan Energi oleh Gus Dur, padahal ia ingin mengabdi secara paripurna di ketentaraan. Dan ini menurutnya merupakan keputusan terberat dalam hidupnya, sampai-sampai istrinya menangis. Tetapi walau berat sebagai wujud komitmennya atas Reformasi ABRI ia rela tidak merangkap jabatan dengan meningggalkan dinas militer yang sangat dicintainya.

Selain itu menurut mantan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden yang juga advokat senior Adnan Buyung Nasution, sepanjang yang ia tahu SBY tidak memiliki sifat yang ‘kemaruk’ terhadap kekuasaan. Dalam kasus yang lain ketika santer terdengar suara yang mengatakan bahwa istrinya, Ani Yudhoyono, bisa menjadi salah satu calon Presiden 2014, secara tegas dikatakannya bahwa dia tidak akan menciptakan dinasti keluarga dan Ani Yudhoyono sudah cukup bangga mendampingi suami mengabdi sebagai ibu negara dan tidak bermaksud mencalonkan diri tahun 2014. Pada peringatan Hari Konstitusi di MPR  ia mengatakan adalah tidak etis bila serah terima jabatan publik dilakukan antara orang –orang satu keluarga misalnya dari ayah kepada istri atau anak.

Pada Hari Konstitusi pula  terkait isu ini secara tegas ia menjawab bahwa ia tidak setuju dengan usulan amandemen UUD 1945 yang menghendaki masa jabatan presiden maksimal bisa 3 periode. Dikatakannya bahwa ia yang tahun 1998 merupakan ketua fraksi ABRI termasuk yang ikut menyuarakan tentang pentingnya pembatasan masa jabatan presiden cukup 2 periode saja. Menurutnya ini adalah pilihan terbaik dan paling ideal karena semakin lama seseorang berkuasa akan menimbulkan banyak permasalahan. "Jadi apakah mungkin masa jabatan yang telah tepat, diubah? Maka semua sependapat untuk menolak dan menentang pikiran itu," ujar SBY di depan MPR.

Bantahan lain muncul dari Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum bahwa SBY hanya menghendaki menjabat Presiden 2 periode saja. Wakil Ketua Umum Demokrat Max Sopacua bahkan meminta agar Ruhut mendapat teguran keras karena pernyataannya telah merugikan Demokrat bahwa seolah-olah itu merupakan hasrat Demokrat padahal hanya pendapat pribadi. Selain itu hal ini juga merugikan citra SBY yang seolah-olah  setelah menikmati kekuasaan 2 periode ia merasa berat untuk melepas jabatan dan ingin mempertahankan kekuasaan. Dan belakangan teguran itupun akhirnya telah disampaikan, bahkan dikatakan SBY marah kepada Ruhut.

Keempat, Bisa juga ini merupakan pengalihan isu. Ini terkait dengan citra pemerintahannya yang banyak menuai kritik belakangan ini, misalnya dugaan keterkaitannya dengan kasus Century, isu pelemahan KPK dalam kasus Bibit-Chandra, kenaikan harga-harga sembako, barter nelayan pencuri ikan Malaysia dengan 3 petugas KKP yang ditawan Malaysia, lambannya pemerintah dalam mengatasi ledakan gas 3 kg disana-sini, kasus Susno Duadji dan rekening gemuk para Jenderal Polisi yang belum juga ditindaklanjuti dan lainnya.

Itulah dugaan-dugaan yang mungkin timbul di masyarakat terkait pernyataan Ruhut. Mungkin masih banyak pendapat lain tentang hal ini. Kita berharap bahwa itu bukan keinginan dan hasrat SBY dan semoga apa yang dikatakannya di Hari Konstitusi benar adanya. Tetapi bagaimana bila SBY sudah “tidak seperti yang dulu lagi” dan ia memang menginginkan hal tersebut? Kata Ketua MK, Mahfud MD, apabila hal ini ditanggapi positif oleh masyarakat bisa-bisa SBY tergoda. Apalagi belakangan saat Peringatan 17 Agustus ke 65 di Istana Negara souvenir yang dibagikan terkesan ‘Cikeas’ banget. Misalnya artikel tentang SBY “Word that Shook the World”, CD  lagu-lagu ciptaannya, buku Ani tentang Batik dan satu lagi wawancara ekslusif sang putra kebanggaan Agus Harimurti Yudhoyono “Sekarang Kita Makin Percaya Diri”. Mungkinkah ia sedang mempromosikan Sang Putra Mahkota? Jawabannya ‘ Let’s Wait and See’.***

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda