Senin, 27 Juni 2011

FENOMENA ARTIS MENJADI ANGGOTA DEWAN DAN KEPALA DAERAH
Oleh : Endarto, S.Pd (Widyaiswara Badan Diklat Provinsi Banten)


Pada masa reformasi ini banyak hal yang berubah dari jaman Orde Baru. Ada perubahan yang menjadi lebih baik tetapi banyak pula yang malah menjadi buruk. Hal-hal yang baik diantaranya adalah perkembangan demokrasi yang menjamin kesamaan kesempatan bagi semua warga negara terutama dalam bidang politik. Kebebasan menyampaikan pendapat dan untuk berbeda pendapat lebih dihargai dan diberi ruang di era ini. Tetapi juga ada kesan bahwa Reformasi sudah kebablasan. Contohnya Demonstrasi terjadi disana-sini bak jamur yang tumbuh di musim hujan. Tetapi demonstrasi yang terjadi sering berlangsung secara anarkis. Dan ini seolah menjadi tren, bahwa tidak afdhol sebuah demonstrasi bila tidak rusuh. Dan justru disitulah telah terjadi pelanggaran demokrasi yang fatal, dimana para demonstran memaksakan kehendaknya dalam demo tersebut, kalau tuntutan tidak dituruti mereka akan mengamuk dan merusak semua yang ada.
Contoh lain adalah tentang anggota-anggota dewan di pusat maupun di daerah. Dahulu  kesempatan rakyat kebanyakan untuk duduk di dewan sangat terbatas. Berhubung hanya ada 3 partai maka seakan hanya itu- itu saja yang duduk di dewan. PDI dan PPP seolah hanya pelengkap saja pada jaman itu biar dikatakan demokratis, anggota mereka di dewan hanya sedikit karena mereka memang selalu kalah dalam Pemilu. Sementara yang berkuasa penuh adalah Golkar sebagai Single Majority. Di pusat maupun di daerah mereka selalu mayoritas, apalagi ABRI dan PNS semua direkrut sebagai anggota Golkar dalam rangka melanggengkan kekuasaan. Tetapi sekarang semua orang dari berbagai latar belakang bisa menjadi anggota dewan asal aktif di partai dan mencalonkan diri dalam Pemilu, apalagi partainya jauh lebih banyak. Justru PNS dan TNI-POLRI tidak boleh aktif di partai.
Sementara dalam penentuan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, dan lagi-lagi karena Golkar mayoritas di hampir semua daerah maka kepala daerah rata-rata orang Golkar. Calon biasanya dari jalur ABG, yaitu ABRI, Birokrasi dan Golkar sendiri. Sekarang Kepala Daerah dipilih melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Siapapun boleh mencalonkan diri, yang penting ada partai yang mendukungnya, atau juga lewat jalur independen.
Tetapi dalam hal pemilihan anggota dewan dan kepala daerah ini justru dalam beberapa hal masa Reformasi ini bisa dikatakan mengalami kemunduran. Memang semua rakyat punya kesempatan untuk mencaonkan diri. Tetapi PNS dan TNI-POLRI karena tidak boleh aktif di partai maka mereka tidak bisa menjadi anggota dewan, kecuali keluar dari korpsnya.  Dan dalam hal pemilihan kepala daerah mereka juga sempit kesempatannya untuk tampil, karena mereka tidak punya akses ke partai, kalau ada itu sangat sedikit. Akibatnya yang dicalonkan hanya tokoh-tokoh partai, tokoh agama, pengusaha, atau bahkan yang bikin sedih para artis berbondong- bondong menjadi Caleg dan Cakada. Mereka bak mendapat durian runtuh.
Padahal untuk duduk diposisi tersebut seseorang butuh pendidikan dan pengalaman kepemimpinan dan organisasi yang cukup. Karena untuk menjadi wakil rakyat maupun pemimpin  daerah itu tidak mudah, mereka harus memimpin orang banyak serta kerja keras memajukan daerah. Dan untuk masalah  pendidikan, PNS atau birokrat serta TNI/POLRI lebih unggul dalam hal ini, apalagi PNS bidang akademisi. Karena untuk masuk dalam PNS mereka harus memiliki pendidikan tertentu, sekarang minimal D3. Sedang dalam hal pengalaman, PNS dan TNI-POLRI juga unggul , mereka juga merupakan calon-calon pemimpin yang telah digodog sejak Kopral sampai Jendral atau sejak staf sampai berbagai tingkat Eselon dan telah melalui dan mengatasi berbagai situasi sehingga pengalaman kepemimpinannya cukup matang. Mereka telah kenyang menghadapi dan mengatasi berbagai masalah pemerintahan. Memang mereka harus netral dalam Pemilu, tetapi alangkah sayangnya anak-anak bangsa yang potensial ini tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk menjadi anggota dewan maupun kepala daerah.
       Nah, kalau artis, mereka lemah dalam hal pengalaman dan pendidikan ini, kecuali beberapa orang. Padahal mereka nanti harus menyuarakan suara rakyat dan memajukan daerah. Apa yang terjadi bila pendidikan cuma SMA, pengalaman memimpin dan berorganisasi juga tidak ada. Ibarat sopir, ini sopir baru latihan dan harus mengemudikan bis dengan penumpang penuh. Bagimana pula perasaan para birokrat pengalaman yang dipimpin oleh orang yang kurang mampu. Ya, ini ibarat para sopir mahir yang menjadi penumpang, sementara mobil dikemudikan sopir ajaran. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi.
Memang dilihat dari syarat-syarat calon kepala daerah, tidak ada yang salah dengan pencalonan mereka, sesuai dengan Peraturan KPU No. 07 Tahun 2007, berikut :
  1. Bertaqwa kepada Tuhan YME
  2. Setia kepada Pancasila, UUD 45, Cita-cita Proklamasi 1945 dan NKRI
  3. Berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan/atau sederajat
  4. Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun pada saat pendaftaran
  5. Sehat jasmani dan rohani berdasar pemeriksaan dari Tim Dokter
  6. Tidak pernah dipenjara karena tindak pidana yang diancam pidana penjara paling lama 5 tahun atau lebih
  7. Tidak sedang dicabut hak pilihnya oleh pengadilan
  1. Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat didaerahnya
  2. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan
10.  Tidak punya tanggungan utang yang merugikan keuangan negara
11.  Tidak sedang dinyatakan pailit oleh pengadilan
12.  Tidak pernah melakukan perbuatan tercela
13.  Memiliki NPWP atau bukti pembayaran pajak
14.  Menyerahkan Daftar Riwayat Hidup
15.  Belum pernah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah selama 2 periode
16.  Tidak dalam Status sebagai Penjabat Kepala Daerah

Lalu mengapa mereka ramai-ramai mencalonkan diri :
-                 Kepala daerah menjadi ladang tak bertuan karena partai kekurangan kader berkualitas, sementara PNS/TNI/POLRI/Profesor/Dosen tidak boleh berpartai sehingga kemungkinan dicalonkan kecil.
-                 Jadi anggota dewan/kepala daerah menjanjikan popularitas yang sama seperti menjadi artis.
-                 Mereka sebagian sudah kurang laku didunia artis, jadi ini merupakan alternatif lain untuk tetap populer dan hidup cukup.
-                 Karena terlalu banyak partai, maka partai-partai tersebut rebutan tokoh. Akhirnya karena tidak mendapatkan tokoh yang layak jual mereka melirik artis untuk dicalonkan, prinsipnya yang penting menang.
-                 Partai mendapat dana dari artis yang dicalonkan.
-                 Mereka punya modal terkenal dan dana yang merupakan syarat kemenangan utama untuk menjadi anggota dewan/ kepala daerah.
-                 Merupakan prestise/kebanggaan tersendiri kalau berhasil jadi kepala daerah.
-                 Merupakan ajang persaingan baru untuk menjadi kepala daerah dimana sebagian teman-temannya sudah jadi  orang/kepala daerah.

Berikut artis- artis yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat:
-       Demokrat : Angelina Sondagh, Adjie Massaid (alm), Tere, Inggrid Kansil, Vena Melinda, Qomar.
-       Golkar : Tantowi Yahya, Nurul Arifin.
-       PDIP : Miing Bagito, Rike Diah Pitaloka (Oneng).
-       PPP : Ratih Sanggarwati.
-       Hanura : Rachel Maryam.
-       PAN : Eko Patrio, Primus Yustisio.

Artis-artis yang terpilih jadi Kepala Daerah :
-          Dede Yusuf (Wagub Jabar),
-          Rano Karno (Wabub Kab Tgr)
-          Dicky Chandra (Wabub Kab Garut)
-          Fadia Arafiq (Wakil Bupati Pekalongan)

Artis yang gagal jadi Kepala Daerah :
-             Marisha Haque (Cawagub Banten)
-             Helmi Yahya (Cawagub Sumsel)
-             Saeful Jamil (Calon Wakil Walikota Serang )
-             Primus Yustisio (Cawabub Subang)
-             Ratih Sanggarwati (Cabub Ngawi)
-             Emilia Contessa (Cabub Banyuwangi)
-             Ikang Fauzi (Cawabub di Lampung)
-             Andre (Calon Wakil Walikota Tangsel)

Yang ramai mau/pernah mau mencalonkan diri :
-             Julia Perez (Cawabub Pacitan-batal)
-             Desi Ratnasari (Cawabub Pacitan-batal)
-             Maria Eva (Cawabub Sidoarjo)
-             Inul Daratista ( Calon Wali Kota/Wakil Malang-batal)
-             Ayu Ashari (Cawabub Sukabumi-batal dicalonkan)
-             Zarima-Ratu Ekstasi (Cabub/Wakil di Sumut )
-             Bolot (Calon Walikota/Wakil Tangsel-batal)
-             Dewi Yul (Cabub Cirebon)
-             Qomar (Cabub Indramayu)

Secara umum, kita kurang setuju dengan terjunnya artis menjadi angota dewan/kepala daerah karena :
-            Diluar negeri saja kepala daerah/pejabat dari artis jumlah terbatas tidak semeriah di Indonesia, misal Ronald Reagen (Presiden AS), Joseph Estrada (Presiden Philipina), Arnold Scwazeneger (Gubernur California).
-            Prinsip kepemimpinan dalam Islam : Jika suatu jabatan diberikan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya.
-            Tidak sesuai dengan prinsip manajemen SDM tentang penempatan orang di suatu posisi ‘The right man on the right place.”
-            Mereka tidak miliki bekal yang cukup misalnya pendidikan, pengalaman organisasi dan jabatan, bahkan secara moral beberapa diantaranya tidak bisa dicontoh.
-            Mereka sama sekali tidak memiliki track record kepemimpinan, karena memimpin itu tidak mudah dan mereka harus memajukan daerah dan mengatasi berbagai masalah, tidak hanya menikmati kedudukan dan dielu-elukan saja.
-            Pada jaman orde baru paling tidak untuk jadi gubernur minimal pernah jadi Pangdam, Sekda atau Kepala Dinas tingkat Propinsi dan untuk jadi Walikota/Bupati paling tidak pernah jadi Dandim, Sekda atau Kepala Dinas tingkat Kabupaten/Kota, jadi ada track record yang jelas.
-            Kita punya banyak  Sarjana, S2, Doktor, Profesor (termasuk yang lulusan luar negeri), PNS/TNI/POLRI yang punya kapabilitas dan pengalaman kepemimpinan yang memadai hanya karena tidak boleh berpartai/ tidak ada partai yang mengusung, tak punya modal dan tidak terkenal mereka tidak bisa mecalonkan diri.
Kita baru setuju jika mereka tidak hanya bermodal duit dan terkenal tapi punya pendidikan yang memadai, track record organisasi dan kepemimpinan yang cukup serta moral yang terjaga sehingga mereka benar-benar berkualitas dan mampu memajukan daerah. Kalau ada artis yang seperti ini maka pantas untuk didukung dan diberi kesempatan.
Nah kalau hal ini diterus-terusin dan calon wakil rakyat maupun calon kepala daerah tidak disaring secara ketat maka perhatikan Cerita Jhon Pantau berikut yang mewawancarai anggota DPR dari artis :
-            Rachel Maryam : Tidak tahu Reff (bagian yang diulang) dalam lagu Indonesia Raya.
-            Primus Yustisio : Sila ketiga Pancasila katanya Persatuan Republik Indonesia.
-            Eko Patrio : Ditanya sila kedua tidak jawab, malah lari.
-            Inggrid Kansil : Tidak tahu apa itu hak angket dan hak interpelasi, malah bertanya pada stafnya.
Jadi,  walupun Undang-Undang memberi kesempatan yang sama kepada semua warga negara untuk menjadi anggota dewan maupun kepala daerah, maka perlu adanya saringan yang ketat. Karena untuk menjadi PNS saja ada batas pendidikan minimal, maka sudah semestinya untuk wakil rakyat dan kepala daerah harus ada syarat  pendidikan minimal yang lebih tinggi. Karena ini menyangkut urusan rakyat banyak, maka jangan pernah menawarkan calon anggota dewan maupun kepala daerah yang tidak punya pengalaman dan pendidikan yang cukup. Kalau itu tetap dilakukan partai berarti mereka tidak pernah memikirkan rakyat, mereka hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri, yaitu uang dan kekuasaan.*** (Diolah dari berbagai sumber)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda